Mungkin saya dan teman – teman semua bertanya – tanya setiap
kali mendengar kata 86, yang sering di katakan oleh pihak kepolisian saat
menggunakan handy talky. Sebenarnya
dalam kepolisian, arti dari 86 adalah sudah diterima atau sudah dimengerti, dan
sandi ini harus sudah di pahami oleh semua anggota kepolisian. Sumber lain
menyebutkan bahwa 86 itu pasal di KUHP yang menyatakan bahwa perkara
diselesaikan dengan membayar denda yang besarnya ditentukan oleh pengadilan.
Dalam bahasa plesetan, hal ini berkonotasi negative, yakni
saling mengerti karena penanganan oleh seorang anggota polisi hendaknya di
hargai dengan sebuah penghargaan dalam bentuk kemudahan atau pemberian sejumlah
uang untuk melancarkan penanganan kasus.
Banyak warga masyarakat yang berurusan dengan aparat polisi
karena kasus kejahatan, sudah pasti akan menghabiskan banyak uang. Tapi kita
kerap juga mengalami terkena tindakan kejahatan seperti penipua dan pencurian.
Maka istilah 86 juga berlaku, atau istilah lain sekadar untuk ATK (Alat Tulis
Kantor). Istilah lainnya yang juga kerap di pakai adalah “Rembang Pati” yang
disingkat RP artinya rupiah yang berarti lebih gampang dikatakan uang sogok
atau pelican.
Jika tidak ada “Rempang Pati” kasus yang kita laporkan konon
tidak akan ditindaklanjuti. Praktik ini di akui atau tidak, telah mewarnai
citra kepolisian dalam melayani masyarakta dan proses penegakan hukum. Maka
kerap masyarakat jika terjadi kejahatan yang menimpa mereka rata – rata sudah
tidak mau melaporkan ke pihak kepolisian, karena mereka tahu pasti ujung
ujungnya masyarakat harus menyerahkan sejumlah uang.
Polisi profesional adalah polisi yang tanpa kompromi atau
tanpa pamrih dalam menegakkan hukum. Mereka tidak mau berkolaborasi dengan para
pelanggar hukum. Tidak ada lagi istilah “86” saling mengerti atau tagkap lepas
ooleh oknum anggota kepolisian karena sang penjahat memberi setoran uang. Hukum
itu harus tegas, tanpa ada damai atau tawar – menawar dengan nilai uang. Oknum
polisi yang berkolusi dengan para pelanggar hukum dengan memeras, menerima
sogokan atau suap, berarti ia juga menjadi pelanggar hukum. Ia bukan lagi
menjadi aparat penegak hukum.
Untuk itu stigmatisasi 86 dengan praktik tangkap peras dan
lepas dan praktik kotor lainnya harus dikikis habis. Istilah 86 harus di
luruskan kembali seperti art sebenarnya supaya tidak berkonotasi negative di
tengah – tengah masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar